PENDAHULUAN
I.
1. LATAR BELAKANG
Bakteri, dari kata bacterium (jamak, bacteria), adalah
kelompok raksasa dari organisme hidup.
Mereka sangatlah kecil (mikroskopik) dan kebanyakan uniseluler (bersel
tunggal), dengan struktur sel yang relatif sederhana tanpa nukleus/inti sel, cytoskeleton,
dan organel lain seperti mitokondria dan kloroplas. Penyakit yang disebabkan
oleh bakteri merupakan suatu penyakit yang paling banyak diderita oleh
masyarakat dunia.
Penyebab infeksi ini bisa bermacam-macam dan salah satunya adalah
bakteri. Ada berbagai macam bakteri yang bisa menyebabkan infeksi pada mata dan
kulit, diantaranya,Staphylococcus
aureus,vibrio cholera.
I.
2. RUMUSAN MASALAH
·
Jenis
bakteri apa saja yang dapat menimbulkan patogen pada mata dan kulit.
·
Morfologi
dan fisiologi bakteri yang menimbulkan patogen pada mata dan kulit.
·
Cara
pencegahan dan pengobatan penyakit yang disebabkan bakteri patogen pada mata
dan kulit.
I. 3. TUJUAN
PENULISAN
Penulisan makalah ini bertujuan untuk memberikan informasi ilmiah kepada sesama mahasiswa farmasi
khususnya dan masyarakat secara umum tentang jenis-jenis bakteri penyebab infeksi pada mata kulit. Selain itu juga diharapkan adanya pengembangan
untuk pengobatan penyakit berdasarkan informasi yang terdapat dalam makalah.
BAB II
PEMBAHASAN
II. 1. Staphylococcus aureus
A. Gambaran Umum
Staphylococcus aureus merupakan
bakteri berbentuk bulat (coccus), yang bila diamati di bawah mikroskop tampak
berpasangan, membentuk rantai pendek, atau membentuk kelompok yang tampak
seperti tandan buah anggur. Organisme ini Gram-positif. Beberapa strain dapat
menghasilkan racun protein yang sangat tahan panas, yang dapat menyebabkan
penyakit pada manusia.
B. Klasifikasi Ilmiah
Kingdom :
Monera
Divisio :
Firmicutes
Class :
Bacilli
Order :
Bacillales
Family :
Staphylococcaceae
Genus :
Staphylococcus
Species : Staphylococcus aureus
C. Struktur
Staphylococcus aureus merupakan bakteri
Gram-positif, tidak
bergerak, tidak berspora dan mampu membentuk kapsul, berbentuk kokus dan tersusun seperti buah
anggur. Ukuran Staphylococcus
berbeda-beda tergantung pada media pertumbuhannya. Apabila ditumbuhkan pada
media agar, Staphylococcus memiliki diameter 0,5-1,0 mm dengan koloni
berwarna kuning. S. aureus mempunyai
dinding sel yang terdiri dari peptidoglikan, asam teikoik, fibronectin
binding protein, clumping factors dan collagen binding protein.
Komponen utama dinding sel adalah peptidoglikan yang
menyusun hampir 50% dari berat dinding sel. Peptidoglikan tersusun dari polimer
polisakarida (asam N-asetilglukosamin dan asam N-asetilmuramik), polipeptida
(L-Ala, D-Glu, L-Lys, D-Ala, D-ala) dan sebuah jembatan pentaglisin. Melalui
katalisis transpeptidase oleh Penicillin-Binding Protein (PBP), setiap
peptidoglikan akan saling berikatan dengan peptidoglikan lainnya dengan cara
merubah rantai alanin agar berikatan dengan jembatan pentaglisin dari peptidoglikan
lainnya. Proses menghasilkan suatu struktur dinding sel yang padat. Beberapa
enzim juga dihasilkan oleh S.aureus, diantaranya koagulase, clumping
factor, hialuronidase dan b-laktamase.
Dinding sel S. Aureus juga
mengandung asam teikoat, yaitu sekitar 40% dari berat kering dinding selnya.
Asam teikoat adalah beberapa kelompok antigen dari Staphylococcus. Asam teikoat
mengandung aglutinogen dan N-asetilglukosamin.
Staphylococcus aureus adalah bakteri aerob
dan anaerob fakultatif yang mampu menfermentasikan manitol dan menghasilkan
enzim koagulase, hyalurodinase, fosfatase, protease dan lipase. Staphylococcus
aureus mengandung lysostaphin yang dapat menyebabkan lisisnya sel darah
merah. Toksin yang dibentuk oleh Staphylococcus aureus adalah haemolysin
alfa, beta, gamma,
delta dan epsilon.
Toksin lain ialah leukosidin, enterotoksin dan eksfoliatin. Enterotosin dan
eksoenzim dapat menyebabkan keracunan makanan terutama yang mempengaruhi
saluran pencernaan. Leukosidin menyerang leukosit sehingga daya tahan tubuh
akan menurun. Eksofoliatin merupakan toksin yang menyerang kulit dengan
tanda-tanda kulit terkena luka bakar.
Suhu optimum untuk pertumbuhan Staphylococcus aureus
adalah 35o – 37o C dengan suhu minimum 6,7o C
dan suhu maksimum 45,4o C. Bakteri ini dapat tumbuh pada pH 4,0 –
9,8 dengan pH optimum 7,0 – 7,5. Pertumbuhan pada pH mendekati 9,8 hanya
mungkin bila substratnya mempunyai komposisi yang baik untuk pertumbuhannya.
Bakteri ini membutuhkan asam nikotinat untuk tumbuh dan akan distimulir
pertumbuhannya dengan adanya thiamin. Pada keadaan anaerobik, bakteri ini juga
membutuhkan urasil. Untuk pertumbuhan optimum diperlukan sebelas asam amino,
yaitu valin, leusin, threonin, phenilalanin, tirosin, sistein, metionin, lisin,
prolin, histidin dan arginin. Bakteri ini tidak dapat tumbuh pada media
sintetik yang tidak mengandung asam amino atau protein.
Selain memproduksi koagulase, S. aureus juga dapat
memproduksi berbagai toksin, diantaranya :
·
Eksotoksin-a yang sangat beracun.
·
Eksotoksin-b yang terdiri dari hemosilin,
yaitu suatu komponen yang dapat menyebabkan lisis pada sel darah merah.
·
Toksin F dan S, yang merupakan protein
eksoseluler dan bersifat leukistik.
·
Hialuronidase, yaitu suatu enzim yang dapat
memecah asam hyaluronat di dalam tenunan sehingga mempermudah penyebaran
bakteri ke seluruh tubuh.
·
Grup enterotoksin yang terdiri dari protein
sederhana.
Staphylococcus aureus hidup sebagai
saprofit di dalam saluran-saluran pengeluaran lendir dari tubuh manusia dan
hewan-hewan seperti hidung, mulut dan tenggorokan dan dapat dikeluarkan pada
waktu batuk atau bersin. Bakteri ini juga sering terdapat pada pori-pori dan
permukaan kulit, kelenjar keringat dan saluran usus. Selain dapat menyebabkan
intoksikasi, S. aureus juga dapat menyebabkan bermacam-macam infeksi seperti
jerawat, bisul, meningitis, osteomielitis, pneumonia dan mastitis pada manusia
dan hewan.
Foto
dari mikroskop elektron (Scanning electron microscope) dari Staphylococcus
aureus.
S.aureus sudah dikenal sebagai penyebab
infeksi sejak tahun 1882 oleh Ogston. Mikroorganisme ini merupakan flora yang
juga ditemukan pada area perianal, inguinal, aksila dan hidung (nares
anterior). Sekitar 11-32% individu sehat mempunyai mikroorganisme ini dan 25%
ditemukan pada tenaga kesehatan rumah sakit. Persentase tersebut lebih tinggi
lagi pada pengguna obat suntik, pasien dengan masalah kulit dan pengguna infus.
Individu-individu karier yang terpapar ini mempunyai makna klinis karena
berresiko lebih tinggi terjadi infeksi dibandingkan bukan karier.
D. Daur Hidup
ket : MRSA : Methicillin-resistant Staphylococcus aureus
PVL :
Panton-Valentine Leukocidin
PMN : Polymorphonuclear
leukocytes, or granulocyte; Polymorphonuclear neutrophil
MRSA terdiri dari 2 bagian, yaitu lukS-PV dan
lukF-PV yang keduanya mengandung PVL. PVL dimediasi oleh nekrosis sel epitel.
Pada sel bakteri terdapat
lapisan yang mengandung PMN. Kemudian PVL menempel pada lapisan terluar bakteri
yang bisa mengakibatkan 2 kejadian, yaitu : jika kandungan PVL kecil, sel
tersebut akan mengalami apositosis ; sedangkan bila kandungan PVL besar, sel
akan mengalami sitolisis. Jika mengalami sitolisis, mediator inflamasi atau ROS
dirilis untuk membuat PVL menjadi lisis
yang mengarah ke jaringan nekrosis
E. Epidemiologi
Staphylococcus
aureus dapat menyebabkan penyakit dengan produksi toksin
preformed maupun oleh menginfeksi baik jaringan lokal dan sirkulasi sistemik.
Penularan penyakit dapat terjadi pada bagian-bagian di bawah ini.
·
Gastrointestinal: Staphylococcus
aureus dapat menyebabkan infeksi akut keracunan makanan melalui preformed
enterotoxins. Bahan makanan mungkin terinfeksi oleh bakteri Staphylococcus
aureus yang terdapat pada produk daging, unggas, produk telur, salad
seperti telur, tuna, ayam, kentang, dan makaroni, krim pengisi roti, kue pai,
kue sus coklat, dan produk susu.
·
Infeksi kulit dan rambut: Staphylococcus
aureus umumnya hidup berkoloni pada permukaan kulit nasofaring, dan
perineum. Infeksi di permukaan ini dapat terjadi terutama bila penghalang kulit
mengalami gangguan fungsi atau kerusakan.
·
Infeksi
sistemik: Staphylococcus aureus pada umumnya
menyebabkan infeksi endokarditis pada penderita osteomyelitis, penderita
infeksi sinus, dan penderita epiglotitis (biasanya anak-anak).
·
Infeksi
nosokomial: resisten methicillin Staphylococcus
staphylococcal (MRSA) adalah strain bakteri yang umumnya terlibat dalam infeksi
nosokomial . Faktor risiko untuk kolonisasi MRSA atau infeksi yang terjadi di
rumah sakit antara lain sebelum paparan antibiotik, saat masuk ke unit perawatan
intensif, insisi bedah, maupun paparan pasien yang terinfeksi.
F. Patologi
Stafilokokus, khususnya S. epidermidis adalah
anggota flora normal pada kulit manusia, saluran pernapasan, dan saluran
pencernaan. 40-50% manusia merupakan pembawa S. aureus dalam hidungnya. Stafilokokus juga biasa ditemukan di pakaian, kasur, dan benda
lainnya yang biasa dipakai manusia. Kemampuan patogenik strain S. aureus tertentu
merupakan gabungan faktor-faktor
ekstraseluler, toksin-toksin, serta sifat-sifat invasif strain itu. Pada
satu akhir spektrum penyakit adalah keracunan makanan oleh stafilokokus, akibat
termakannya enterotoksin yang sudah terbentuk, sedangkan benuk akhir lainnya
adalah bakteremia stafilokokus dan abses yang tersebar di seluruh organ. Peran
serta potensial berbagai zat ekstraseluler pada patogenesis ternyata dari sifat
kerja masing-masing faktor.
Staphylococcus aureus yang
patogen dan invasif cenderung menghasilkan koagulase dan pigmen kuning, dan
bersifat hemolitik. Stafilokokus yang non patogen dan tidak invasif seperti Staphylococcus
epidermidis, cenderung bersifat koagulase negatif dan tidak hemolitik.
Organisme ini jarang menyebabkan pus tetapi dapat menginfeksi prostesis
ortopedik atau kardiovaskuler.
Prototipe lesi stafilokokus adalah furunkel
atau abses setempat lainnya. Kelompok S. aureus yang tinggal dalam folikel rambut menimbulkan
nekrosis jaringan (faktor demonekrotik). Koagulase dihasilkan dan mengkoagulase
fibrin di sekitar lesi dan di dalam pembuluh limfe, mengakibatkan pembentukan
dinding yang membatasi proses dan diperkuat oleh penumpukan sel radang dan
kemudian jaringan fibrosis. Di tengah-tengah lesi, terjadi pencairan jaringan
nekrotik (dibantu oleh hipersensitivitas tipe lambat) dan abses “mengarah” pada
daerah yang daya tahannya paling kecil. Setelah cairan di tengah jaringan
nekrotik mengalir keluar, rongga secara pelan-pelan diisi dengan jaringan
granulasi dan akhirnya sembuh.
Penanahan foka (abses) adalah sifat khas
infeksi stafilokokus. Dari setiap fokus, organisme menyebar melalui saluran
limfe dan aliran darah ke bagian tubuh lainnya. Penanahan dalam vena, yang
disertai trombosis, sering terjadi pada penyebaran tersebut. Pada
osteomyelitis, fokus primer pertumbuhan S. aureus secara khas terjadi di pembuluh-pembuluh darah
terminal pada metafisis tulang panjang, mengakibatkan nekrosis tulang dan
pernanahan menahun. S. aureus dapat menyebabkan pneumonia, meningitis,
empiema, endokarditis atau sepsis dengan pernanahan pada bagian tubuh mana saja.
Stafilokokus yang daya invasinya rendah berperan pada banyak infeksi kulit
(misalnya acne, epiderma, atau impitigo). Kokus anaerob (peptostreptococcus)
berperan dalam infeksi anaerobik campuran.
Stafilokokusjuga menyebabkan penyakit melalui kerja toksin, tanpa
memperlihatkan infeksi invasif. Bula eksoliatif-sindroma lepuh kulit-disebabkan
oleh pembentukan toksin eksoliatif. Sindroma syok toksin berhubungan dengan
toksin sindroma syok toksik-I (TSST-I).
G. Gejala Klinis
Staphylococcus aureus terutama
CA-MRSA (Community associated-Methicillin-resistant Staphylococcus aureus) biasanya
menyebabkan infeksi kulit dan jaringan lunak (jerawat, bisul, dan bengkak).
Gejalanya tampak sebagai kemerahan, panas, bengkak, nyeri bila ditekan, dan
bernanah. Kadang-kadang cukup serius dengan timbulnya luka infeksi yang
bernanah, radang paru yang memerlukan perawatan di rumah sakit dengan terapi
antibiotik khusus.
H. Diagnosis
a. Bahan pemeriksaan
Bahan untuk pemeriksaan dapat diperoleh
dengan cara swabbing, atau langsung dari darah, pus sputum, atau liquor serebrospinalis.
b. Pemeriksaan Langsung
Biasanya kuman dapat terlihat jelas, terutama
jika bahan pemeriksaan berasal dari pus sputum. Dari sediaan langsung kita
tidak dapat membedakan apakah yang kita lihat tersebut Staphylococcus aureus
atau Staphylococcus epidermidis. Pada sediaan langsung dari nanah,
kuman terlihat tersusun tersendiri, berpasangan, bergerombol dan bahkan dapat
tersusun seperti rantai pendek.
c. Perbenihan
Bahan yang ditanam pada lempeng agar darah
akan menghasilkan koloni yang khas setelah pengeraman selama 18 jam pada suhu
37°C,
tetapi hemolisis dan pembentukan pigmen baru terlihat setelah beberapa hari
dibiarkan pada suhu kamar. Jika bahan pemeriksaan mengandung bermacam-macam
kuman, dapat dipakai suatu perbenihan yang mengandung NaCl 10%. Pada umumnya
Stafilokokus yang berasal dari manusia idak patogen terhadap hewan. Pada suatu
perbenihan yang mengandung telurit, Stafilokokus koagulasi positif membentuk
koloni yang berwarna hitam karena dapat mereduksi telurit.
·
Tes Koagulasi :
Ada 2 cara tes koagulasi yaitu cara slide
test dan cara tube test. Pada slide test yang dicari ialah bound
coagulase atau clumping factor. Cara ini tidak dianjurkan untuk
pemeriksaan rutin, karena banyak faktor yang dapat mempengaruhinya, antara lain
diperlukan plasma manusia yang masih segar. Pemakaiannya terutama untuk
pemeriksaan Stafilokokus dalam jumlah yang besar, misalnya untuk screening
test. Pada tube test yang dicari ialah adanya koagulasi bebas dan
cukup dipergunakan plasma kelinci. Hasilnya positif kuat jika tabung tes
dibalik, gumpalan plasma tidak terlepas dan tetap melekat pada dinding tabung.
·
Penentuan Tipe Bakteriofaga (lisotopi) :
Cara ini penting untuk menentukan tipe
Stafilokokus yang diasingkan dari lingkungan rumah sakit. Perlu diketahui bahwa
70-80% flora Stafilokokus di rumah sakit tahan terhadap penisilin. Selain itu,
dengan lisotopi dapat pula ditentukan apakah suatu jenis berasal dari hewan
atau dari manusia (Arif et al, 2000).
·
Tes Kepekaan :
Tes pengenceran mikro kaldu atau tes kepekaan
lempeng difusi sebaliknya dilakukam secara rutin pada isolat stafilokokus dari
infeksi yang berwakna secara klinik. Resistensi terhadap penisilin G dapat
diperkirakan melalui tes positif untuk b-laktamase;
kurang lebih 90% S. aureus menghasilkan b-laktamase. Resistensi
terhadap nafsilin (dan oksasilin san metisilin) terjadi pada 10-20% S.
aureus dan kurang lebih 75% isolat S. epidermidis. Resistensi
nafsilin berkorelasi dengan adanya mecA, suatu gen yang menyandi protein
terikat penisilin yang tidak dipengaruhi obat ini. Gen dapat dideteksi dengan
menggunakan reaksi rantai polimerase, tetapi hal ini tidak berguna karena
stafilokokus yang tumbuh pada agar Mueller-Hinton mengandung 4% NaCl dan 6mg/mL oksasilin yang
secara khas merupakan mecA positif dan resisten oksasilin.
I. Pengobatan dan Pencegahan
Sebagian besar orang memiliki stafilokokus
pada kulit dan hidung atau tenggorokan. Biarpun kulit dapat dibersihkan dari
stafilokokus (misalnya pada eksema), dengan cepat akan terjadi reinfeksi
melalui droplet. Organisme patogen sering menyebar dari satu lesi (seperti
furunkel) dan menyebar ke daerah kulit lainnya melalui jari dan pakaian. Oleh
karena itu, antisepsis lokal yang cermat sangat penting untuk mengendalikan
furunkulosis yang berulang.
Infeksi ganda yang berat pada kulit (jerawat,
furunkulosis) paling sering terjadi pada para remaja. Infeksi kulit yang serupa
terjadi pada penderita yang memperoleh kortikosteroid dalam jangka waktu yang
lama, menunjukkan peranan hormon dalam patogenesis infeksi kulit oleh
stafilokokus. Pada jerawat, enzim lipase dari stafilokokus dan korinobakteria
melepaskan asam-asam lemak dan menyebabkan iritasi jaringan. Tetrasiklin
dipergunakan untuk pengobatan jangka panjang.
Abses dan lesi bernanah diobati dengan
drainase, yaitu tindakan yang sangat penting, dan antimikroba. Banyak obat
antimikroba memiliki efek terhadap stafilokokus in vitro. Namun, sangat
sukar membasmi stafilokokus patogen pada orang- orang yang terinfeksi bakteri
ini, karena organisme ini cepat menjadi resisten terhadap kebanyakan obat
antimikroba, dan obat-obat itu tidak dapat bekerja pada bagian sentral lesi
nekrotik yang bernanah.
Baktertemia, endokarditis, pneumonia, dan
infeksi hebat lain yang disebabkan oleh S. aureus memerlukan terapi
intravena yang lama dengan penisilin yang resisten terhadap b-laktamase.
Vankosimin sering dicadangkan untuk stafilokokus yang resisten terhadap
nafsilin. Jika infeksi disebabkan oleh S. aureus yang tidak menghasilkan
b-laktamase,
penisilin G merupakan obat pilihan, tetapi hanya sedikit S. aureus yang peka terhadap penisilin G.
Pada infeksi klinis, strain S. aureus yang resisten terhadap penisilin G selalu
menghasilkan penisilinase. Sekarang bakteri ini merupakan 70-90% isolat S.
aureus dalam masyarakat USA. Bakteri ini biasanya peka terhadap penisilin
yang resisten terhadap b-laktamase,
sefalosporoin, atau vankomisin. Resistensi terhadap nafsilin tidak bergantung
pada pembentukan b-laktamase,
dan isidensi klinisnya sangat bervariasi di berbagai negara dan pada waktu yang
berbeda. Pengaruh seleksi obat antimikroba yang resisten terhadap b-laktamase mungkin
bukan merupakan satu-satunya faktor yang menentukan timbulnya resistensi
terhadap obat ini.
Karena sering timbul strain yang resisten
terhadap obat, isolat stafilokokus yang penting sebaiknya diperiksa kepekaannya
terhadap obat antimikroba untuk membantu pemilihan obat sistemik. Resistensi
terhadap obat golongan eritromisin cenderung timbul demikian cepat sehingga
obat ini sebaiknya tidak digunakan sebagai obat tunggal dalam infeksi menahun.
Resistensi obat (terhadap penisilin, tetrasiklin, aminoglikosida, eritromisin,
dan sebagainya) yang ditentukan oleh plasmid, dapat dipindah-pindahkan di
antara Staphylococcus sp. dengan transduksi atau mungkin dengan
konjugasi.
Di antara kokus gram positif, enterokokus
yang terendah sensitifitasnya. Hampir semua infeksi oleh Staphylococcus
sp. disebabkan oleh kuman penghasil penisilinase dan karena itu harus
diobati dengan penisilin yang tahan penisilinase. Staphylococcus yang
resisten terhadap metisilin (methicilin-resistant S. aureus = MRSA)
harus diobati dengan vankomisin atau siprofloksasin. Gonokokus yang dahulu
sensitif terhadap penisilin G, juga sudah banyak yang resisten , obat terpilih
sekarang adalah seftriakson. Meningokokus cukup sensitif terhadap penisilin G.
Hal-hal yang dapat kita
lakukan agar tidak terinfeksi bakteri ini antara lain.
- Memelihara kesehatan diri dengan baik dan benar
- Mencuci tangan dengan benar menggunakan sabun cair dan air atau membalur tangan dengan alkohol.
- Memakai sarung tangan setiap memegang barang yang sangat kotor, misalnya ludah, nanah alat rumah tangga yag kotor, kotoran binatang kesayangan, dan selanjutnya mencuci tangan dengan benar/bersih. Ini sangat penting bagi orang yang sistem imunitasnya menurun.
- Hindari pemakaian bersama barang pribadi seperti handuk, pakaian/pakaian seragam yang belum dicuci, pisau cukur.
- Hindari sentuhan langsung sentuhan dengan luka atau segala barang yang kotor oleh rembesan luka
- Segera bersihkan kulit yang luka/lecet, luka irirsan dan kemudian menutup dengan perban lekat yang tahan air. Cucilah tangan sebelum dan sesudah menyentuh luka tersebut. Bila gejala infeksi timbul, segera minta nasehat pada dokter.
- Bila kita mempunyai luka terbuka, hindari olahraga dengan kontak langsung, dan hindari mandi di tempat umum.
- Jagalah kebersihan lingkungan dan selalu mensterilkan perlengkapan yang telah dipakai di tempat umum seperti pusat olah raga dan kamar mandi umum.
- Jangan sembarangan memakai antibiotik. Pemakaian antibiotik harus sesuai dengan anjuran dan petunjuk dokter yang harus ditaati sesuai dengan dosis yang ditentukan secara teratur.
- Perhatikan kebersihan tangan dan gunakan masker (bagi yang memiliki gangguan pernapasan) jika menggunakan antibiotik.
ii.2. Vibrio cholerae
|
||||||||||||||
Vibrio
cholerae
Pacini 1854 |
Vibrio cholerae merupakan bakteri gram negatif, berbentuk basil
(batang) dan bersifat motil (dapat bergerak), memiliki struktur antogenik dari antigen flagelar H
dan antigen somatik O, gamma-proteobacteria, mesofilik dan kemoorganotrof, berhabitat alami di lingkungan akuatik
dan umumnya berasosiasi dengan eukariot. Spesies Vibrio
kerap dikaitkan dengan sifat patogenisitasnya
pada manusia, terutama V. cholerae penyebab penyakit kolera di negara berkembang yang memiliki keterbatasan
akan air bersih dan memiliki sanitasi yang buruk. V.cholerae
ditemukan pertama kali oleh ahli anatomi dari Italia bernama Filippo Pacini pada tahun 1854. [3]. Namun, penemuan
awal ini baru dikenal luas setelah Robert Koch, yang
mempelajari penyakit kolera di Mesir,
pada tahun 1883 berhasil membuktikan bahwa bakteri tersebut adalah penyebab
kolera.
a. Ciri-Ciri:
·
Bakteri
gram negatif
·
Batang
lurus dan agak lengkung
·
Terdapat
tunggal dan dalam rantai berpilin
·
Tidak
berkapsul
·
Tidak
membentuk spora
·
Bergerak
flagella tunggal polar
·
Aerobik,
anaerobik fakultatif
·
Patogenik,
menyebabkan kolera
Vibrio
cholera terdapat
dalam dua biotipe atau galur: biotipe klasik dan biotipe El Tor. Dinamakan El
Tor karena organism tersebut diisolasi di pos karantina El Tor di Teluk Suez
pada thun 1905.
Uji
|
Klasik
|
El Tor
|
|
Uji Voges-Proskauer
untuk
|
|||
asetilmetilkarbinol
|
-
|
+
|
|
Produksi Indol
|
+
|
+
|
|
Pencairan gelatin
|
+
|
+
|
|
Produksi H2S
|
-
|
-
|
|
Fermentasi glukosa
|
+
|
+
|
|
Fermentasi laktosa
|
Lambat
|
Lambat
|
|
Hemolisis butir darah
merah
|
|||
domba atau kambing
|
-
|
+
|
|
Hemaglutinasi butir
darah merah ayam
|
-
|
+
|
Tabel 3. Reaksi biokimiawi biotipe Vibrio cholerae
Gambar 11. Vibrio cholerae
b. Habitat bakteri
Bakteri
yang dapat hidup pada salinitas yang relatif tinggi seperti di air laut dan
perairan payau. Tumbuh
dan berkembang biak di dalam usus manusia.
c. Infeksi dan vilurensi
Menyebabakan penyakit kolera
(cholera) yang penyakit infeksi saluran usus bersifat akut yang disebabkan oleh
bakteri Vibrio cholerae, bakteri ini masuk kedalam tubuh seseorang melalui
makanan atau minuman yang terkontaminasi. Bakteri tersebut mengeluarkan
enterotoksin (racunnya) pada saluran usus sehingga terjadilah diare (diarrhoea)
disertai muntah yang akut dan hebat, akibatnya seseorang dalam waktu hanya
beberapa hari kehilangan banyak cairan tubuh dan masuk pada kondisi dehidrasi.
Apabila
dehidrasi tidak segera ditangani, maka akan berlanjut kearah hipovolemik dan
asidosis metabolik dalam waktu yang relatif singkat dan dapat menyebabkan
kematian bila penanganan tidak adekuat. Pemberian air minum biasa tidak akan
banyak membantu, Penderita (pasien) kolera membutuhkan infus cairan gula
(Dextrose) dan garam (Normal saline) atau bentuk cairan infus yang di mix
keduanya (Dextrose Saline).
d. Patogenesis
Pada penderita penyakit kolera
ada beberapa hal tanda dan gejala yang ditampakkan, antaralainialah :
§ Diare yang encer dan
berlimpah tanpa didahului oleh rasa mulas atau tenesmus.
§ Feaces atau kotoran
(tinja) yang semula berwarna dan berbau berubah menjadi cairan putih keruh
(seperti air cucian beras) tanpa bau busuk ataupun amis, tetapi seperti manis
yang menusuk.
§ Feaces (cairan) yang
menyerupai air cucian beras ini bila diendapkan akan mengeluarkan
gumpalan-gumpalan putih.
§ Diare terjadi
berkali-kali dan dalam jumlah yang cukup banyak.
§ Terjadinya muntah setelah
didahului dengan diare yang terjadi, penderita tidaklah merasakan mual
sebelumnya.
§ Kejang otot perut bisa
juga dirasakan dengan disertai nyeri yang hebat.
§
Banyaknya cairan yang keluar akan
menyebabkan terjadinya dehidrasi dengan tanda- tandanya
seperti;detak jantung cepat, mulut kering, lemah fisik,mata cekung, hypotensi
dan lain-lain yang bila tidak segera mendapatkan penangan pengganti cairan tubuh yang hilang dapat mengakibatkan
kematian.
e. Penularan
Kolera dapat menyebar sebagai
penyakit yang endemik, epidemik, atau pandemik. Bakteri vibrio cholerae
berkembang biak dan menybar melalui feces (kotoran) manusia, bila kotoran yang
mengandung bakteri ini mengkontaminasi air sungai dan sebagainya maka orang
lain yang terjadi kontak dengan air tersebut beresiko terkena penyakit kolera
itu juga
f.Isolasi
Untuk melakukan isolasi
dan pemeliharaan vibrio, dapat menggunakan media Thiosulfate-citrate-bile salts agar
(TCBS) yang merupakan media selektif untuk isolasi dan pemurnian Vibrio.
Vibrio mampu menggunakan sukrosa sebagai
sumber karbon akan berwarna
kuning, sedangkan yang lainnya berwarna hijau. Akan tetapi terdapat beberapa
mikrob yang juga dapat tumbuh pada media ini, seperti Staphylococcus, Flavobacterium, Pseudoalteromonas, and Shewanella Sedangkan untuk perbanyakan Vibrio,
dapat digunakan media Alkaline Peptone Water (APW) yang memiliki pH relatif tinggi, yaitu berkisar 8.4 dan mengandung NaCl
sebesar 1-2%.Adapun pertumbuhan optimum vibrio adalah pada suhu berkisar antara
20- 35oC.
g.Uji Biokimia
Teknik yang digunakan
dalam identifikasi fenotipe
V. cholerae adalah uji lisin dekarboksilase dan ornitin
(arginin) dekarboksilase, oksidase, Kliger Iron Agar (KIA), dan uji indol.
cholerae akan menunjukkan hasil positif pada keempat uji biokimia tersebut.
Hasil positif untuk uji oksidase dan uji lisin dan arginin dekarboksilase
adalah terbentuknya warna ungu tua. Pada uji KIA, tidak terbentuk gas, dengan slant
(bagian permukaan media) berwarna merah (bersifat basa) dan butt (bagian
dasar media) berwarna kuning (bersifat asam). Untuk uji indol, akan terbentuk
warna merah keunguan pada permukaan.
Salah
satu hasil pewarnaan gram Vibrio (Vibrio cholerae)
|
Vibrio adalah salah satu jenis bakteri yang tergolong dalam
kelompok marine bacteria. Bakteri ini umumnya memiliki habitat alami di laut.
h.Karakteristik
Secara umum, bakteri
vibrio bersifat aerob, tetapi ada pula yang bersifat anaerob
fakultatif. Selain itu, vibrio juga bersifat motil karena pergerakannya dikendalikan oleh flagela polar, tergolong
bakteri gram negatif dan berbentuk batang yang melengkung (seperti tanda koma).
i.Metabolisme
Hasil uji biokimia dari bakteri Vibrio antara lain adalah hasil positif pada uji oksidase dan katalase. Pada uji indol Vibrio menunjukan hasil positif dan bersifat motil. Selain itu, pada uji fermentasi sukrosa dan manitol bakteri Vibrio juga memberi hasil positif yaitu dapat melakukan fermentasi
sukrosa dan manitol, namun pada uji laktosa didapat hasil negatif yaitu tidak
dapat memfermentasikan laktosa. Sementara itu, bila
diujikan pada media Triple Sugar Iron Agar(TSIA), hasil yang
muncul adalah bagian atas (slant) menunjukan warna merah yang berarti
bersifat basa, dan bagian bawah (butt) berwarna kuning yang berarti bersifat asam, dan tidak terbentuk H2S. Uji lisin dekarboksilasi terhadap
Vibrio juga menunjukkan hasil positif berupa warna ungu, uji NaCl 0% memberi
hasil positif berupa kekeruhan yang tinggi, NaCl 6% dengan hasil bervariasi, dan NaCl 8 % dengan
hasil negatif (kekeruhan rendah). Pada uji arginin dihidrolase dan esculin
hidrolisis Vibrio akan memberikan hasil negatif, sedangkan pada uji ornitin
dekarboksilase Vibrio akan memberi hasil positif.
j.Jenis-jenis
Beberapa jenis spesies
vibrio yang ditemukan pada lingkungan perairan yaitu Vibrio alginolyticus,
V. damsela, V. charchariae, V.anguilarum, V. ordalli,
V. cholerae, V. salmonicida, V. vulnificus, V.
parahaemolyticus, V. pelagia, V. splendida, V. fischeri
dan V. harveyi. Beberapa dari jenis vibrio tersebut umumnya dapat menginfeksi hewan-hewan laut seperti kerang dan ikan sehingga menyebabkan penyakit yang disebut vibriosis.
BAB
III
PENUTUP
III.
1. Kesimpulan
Staphylococcus
aureus,vibrio cholera merupakan
jenis bakteri yang patogen pada mata dan kulit.
Dengan adanya makalah ini, penyusun mengharapkan agar pembaca dapat memahami
tentang bakteri yang menjadi patogen pada mata dan kulit serta dapat juga
mengetahui cara pencegahan dan mengobatan jika terjadi infeksi.
DAFTAR PUSTAKA
Jawetz. 1996. Mikrobiologi Kedokteran. EGC: Jakarta.
Pelczar,
M. 1988. Dasar-Dasar
Mikrobiologi. UI
Press: Jakarta.
Staf pengajar FK UI. 1994. Mikrobiologi Kedokteran ed. revisi. Penerbit
Binarupa Aksara: Jakarta.
http://wiki.medpedia.com/vibrio
cholera
0 komentar:
Posting Komentar