Sabtu, 19 Januari 2013

Bakteri Stapylococcus s.p dan Vibrio Cholera s.p


 PENDAHULUAN 


I.      1.       LATAR BELAKANG
Bakteri, dari kata  bacterium (jamak, bacteria), adalah kelompok raksasa dari organisme  hidup. Mereka sangatlah kecil (mikroskopik) dan kebanyakan uniseluler (bersel tunggal), dengan struktur sel yang relatif sederhana tanpa nukleus/inti sel, cytoskeleton, dan organel lain seperti mitokondria dan kloroplas. Penyakit yang disebabkan oleh bakteri merupakan suatu penyakit yang paling banyak diderita oleh masyarakat dunia.
Penyebab infeksi ini bisa bermacam-macam dan salah satunya adalah bakteri. Ada berbagai macam bakteri yang bisa menyebabkan infeksi pada mata dan kulit, diantaranya,Staphylococcus aureus,vibrio cholera.
I.      2.      RUMUSAN MASALAH
·         Jenis bakteri apa saja yang dapat menimbulkan patogen pada mata dan kulit.
·         Morfologi dan fisiologi bakteri yang menimbulkan patogen pada mata dan kulit.
·         Cara pencegahan dan pengobatan penyakit yang disebabkan bakteri patogen pada mata dan kulit.
I.      3.     TUJUAN PENULISAN
Penulisan makalah ini bertujuan untuk memberikan informasi ilmiah kepada sesama mahasiswa farmasi khususnya dan masyarakat secara umum tentang jenis-jenis bakteri penyebab infeksi pada mata kulit. Selain itu juga diharapkan adanya pengembangan untuk pengobatan penyakit berdasarkan informasi yang terdapat dalam makalah.
BAB II
PEMBAHASAN
II. 1. Staphylococcus aureus


http://queenofsheeba.files.wordpress.com/2008/07/streptococcus-aureus.jpg

A.  Gambaran Umum
Staphylococcus aureus merupakan bakteri berbentuk bulat (coccus), yang bila diamati di bawah mikroskop tampak berpasangan, membentuk rantai pendek, atau membentuk kelompok yang tampak seperti tandan buah anggur. Organisme ini Gram-positif. Beberapa strain dapat menghasilkan racun protein yang sangat tahan panas, yang dapat menyebabkan penyakit pada manusia.
B.  Klasifikasi Ilmiah
 Kingdom    : Monera
 Divisio        : Firmicutes
 Class          : Bacilli
 Order         : Bacillales
 Family        : Staphylococcaceae
 Genus        : Staphylococcus
 Species      : Staphylococcus aureus



C.  Struktur
Staphylococcus aureus merupakan bakteri Gram-positif, tidak bergerak, tidak berspora dan mampu membentuk kapsul, berbentuk kokus dan tersusun seperti buah anggur. Ukuran Staphylococcus berbeda-beda tergantung pada media pertumbuhannya. Apabila ditumbuhkan pada media agar, Staphylococcus memiliki diameter 0,5-1,0 mm dengan koloni berwarna kuning. S. aureus mempunyai dinding sel yang terdiri dari peptidoglikan, asam teikoik, fibronectin binding protein, clumping factors dan collagen binding protein.
Komponen utama dinding sel adalah peptidoglikan yang menyusun hampir 50% dari berat dinding sel. Peptidoglikan tersusun dari polimer polisakarida (asam N-asetilglukosamin dan asam N-asetilmuramik), polipeptida (L-Ala, D-Glu, L-Lys, D-Ala, D-ala) dan sebuah jembatan pentaglisin. Melalui katalisis transpeptidase oleh Penicillin-Binding Protein (PBP), setiap peptidoglikan akan saling berikatan dengan peptidoglikan lainnya dengan cara merubah rantai alanin agar berikatan dengan jembatan pentaglisin dari peptidoglikan lainnya. Proses menghasilkan suatu struktur dinding sel yang padat. Beberapa enzim juga dihasilkan oleh S.aureus, diantaranya koagulase, clumping factor, hialuronidase dan b-laktamase.
Dinding sel S. Aureus juga mengandung asam teikoat, yaitu sekitar 40% dari berat kering dinding selnya. Asam teikoat adalah beberapa kelompok antigen dari Staphylococcus. Asam teikoat mengandung aglutinogen dan N-asetilglukosamin.
Staphylococcus aureus adalah bakteri aerob dan anaerob fakultatif yang mampu menfermentasikan manitol dan menghasilkan enzim koagulase, hyalurodinase, fosfatase, protease dan lipase. Staphylococcus aureus mengandung lysostaphin yang dapat menyebabkan lisisnya sel darah merah. Toksin yang dibentuk oleh Staphylococcus aureus adalah haemolysin alfa, beta, gamma, delta dan epsilon. Toksin lain ialah leukosidin, enterotoksin dan eksfoliatin. Enterotosin dan eksoenzim dapat menyebabkan keracunan makanan terutama yang mempengaruhi saluran pencernaan. Leukosidin menyerang leukosit sehingga daya tahan tubuh akan menurun. Eksofoliatin merupakan toksin yang menyerang kulit dengan tanda-tanda kulit terkena luka bakar.
Suhu optimum untuk pertumbuhan Staphylococcus aureus adalah 35o – 37o C dengan suhu minimum 6,7o C dan suhu maksimum 45,4o C. Bakteri ini dapat tumbuh pada pH 4,0 – 9,8 dengan pH optimum 7,0 – 7,5. Pertumbuhan pada pH mendekati 9,8 hanya mungkin bila substratnya mempunyai komposisi yang baik untuk pertumbuhannya. Bakteri ini membutuhkan asam nikotinat untuk tumbuh dan akan distimulir pertumbuhannya dengan adanya thiamin. Pada keadaan anaerobik, bakteri ini juga membutuhkan urasil. Untuk pertumbuhan optimum diperlukan sebelas asam amino, yaitu valin, leusin, threonin, phenilalanin, tirosin, sistein, metionin, lisin, prolin, histidin dan arginin. Bakteri ini tidak dapat tumbuh pada media sintetik yang tidak mengandung asam amino atau protein.
Selain memproduksi koagulase, S. aureus juga dapat memproduksi berbagai toksin, diantaranya :
·         Eksotoksin-a yang sangat beracun.
·         Eksotoksin-b yang terdiri dari hemosilin, yaitu suatu komponen yang dapat menyebabkan lisis pada sel darah merah.
·         Toksin F dan S, yang merupakan protein eksoseluler dan bersifat leukistik.
·         Hialuronidase, yaitu suatu enzim yang dapat memecah asam hyaluronat di dalam tenunan sehingga mempermudah penyebaran bakteri ke seluruh tubuh.
·         Grup enterotoksin yang terdiri dari protein sederhana.
Staphylococcus aureus hidup sebagai saprofit di dalam saluran-saluran pengeluaran lendir dari tubuh manusia dan hewan-hewan seperti hidung, mulut dan tenggorokan dan dapat dikeluarkan pada waktu batuk atau bersin. Bakteri ini juga sering terdapat pada pori-pori dan permukaan kulit, kelenjar keringat dan saluran usus. Selain dapat menyebabkan intoksikasi, S. aureus juga dapat menyebabkan bermacam-macam infeksi seperti jerawat, bisul, meningitis, osteomielitis, pneumonia dan mastitis pada manusia dan hewan.

Foto dari mikroskop elektron (Scanning electron microscope) dari Staphylococcus aureus.
S.aureus sudah dikenal sebagai penyebab infeksi sejak tahun 1882 oleh Ogston. Mikroorganisme ini merupakan flora yang juga ditemukan pada area perianal, inguinal, aksila dan hidung (nares anterior). Sekitar 11-32% individu sehat mempunyai mikroorganisme ini dan 25% ditemukan pada tenaga kesehatan rumah sakit. Persentase tersebut lebih tinggi lagi pada pengguna obat suntik, pasien dengan masalah kulit dan pengguna infus. Individu-individu karier yang terpapar ini mempunyai makna klinis karena berresiko lebih tinggi terjadi infeksi dibandingkan bukan karier.


D. Daur Hidup

ket :     MRSA : Methicillin-resistant Staphylococcus aureus

            PVL      : Panton-Valentine Leukocidin
            PMN    : Polymorphonuclear leukocytes, or granulocyte; Polymorphonuclear neutrophil
MRSA terdiri dari 2 bagian, yaitu lukS-PV dan lukF-PV yang keduanya mengandung PVL. PVL dimediasi oleh nekrosis sel epitel.
Pada sel bakteri terdapat lapisan yang mengandung PMN. Kemudian PVL menempel pada lapisan terluar bakteri yang bisa mengakibatkan 2 kejadian, yaitu : jika kandungan PVL kecil, sel tersebut akan mengalami apositosis ; sedangkan bila kandungan PVL besar, sel akan mengalami sitolisis. Jika mengalami sitolisis, mediator inflamasi atau ROS dirilis untuk membuat  PVL menjadi lisis yang mengarah ke jaringan nekrosis

E.   Epidemiologi
Staphylococcus aureus dapat menyebabkan penyakit dengan produksi toksin preformed maupun oleh menginfeksi baik jaringan lokal dan sirkulasi sistemik. Penularan penyakit dapat terjadi pada bagian-bagian di bawah ini.
·         Gastrointestinal: Staphylococcus aureus dapat menyebabkan infeksi akut keracunan makanan melalui preformed enterotoxins. Bahan makanan mungkin terinfeksi oleh bakteri Staphylococcus aureus yang terdapat pada produk daging, unggas, produk telur, salad seperti telur, tuna, ayam, kentang, dan makaroni, krim pengisi roti, kue pai, kue sus coklat, dan produk susu.
·         Infeksi kulit dan rambut: Staphylococcus aureus umumnya hidup berkoloni pada permukaan kulit nasofaring, dan perineum. Infeksi di permukaan ini dapat terjadi terutama bila penghalang kulit mengalami gangguan fungsi atau kerusakan.
·         Infeksi sistemik: Staphylococcus aureus pada umumnya menyebabkan infeksi endokarditis pada penderita osteomyelitis, penderita infeksi sinus, dan penderita epiglotitis (biasanya anak-anak).
·         Infeksi nosokomial: resisten methicillin Staphylococcus staphylococcal (MRSA) adalah strain bakteri yang umumnya terlibat dalam infeksi nosokomial . Faktor risiko untuk kolonisasi MRSA atau infeksi yang terjadi di rumah sakit antara lain sebelum paparan antibiotik, saat masuk ke unit perawatan intensif, insisi bedah, maupun paparan pasien yang terinfeksi.

F.   Patologi
Stafilokokus, khususnya S. epidermidis adalah anggota flora normal pada kulit manusia, saluran pernapasan, dan saluran pencernaan. 40-50% manusia merupakan pembawa S. aureus  dalam hidungnya. Stafilokokus juga biasa ditemukan di pakaian, kasur, dan benda lainnya yang biasa dipakai manusia. Kemampuan patogenik strain S. aureus tertentu merupakan gabungan faktor-faktor  ekstraseluler, toksin-toksin, serta sifat-sifat invasif strain itu. Pada satu akhir spektrum penyakit adalah keracunan makanan oleh stafilokokus, akibat termakannya enterotoksin yang sudah terbentuk, sedangkan benuk akhir lainnya adalah bakteremia stafilokokus dan abses yang tersebar di seluruh organ. Peran serta potensial berbagai zat ekstraseluler pada patogenesis ternyata dari sifat kerja masing-masing faktor.
Staphylococcus aureus yang patogen dan invasif cenderung menghasilkan koagulase dan pigmen kuning, dan bersifat hemolitik. Stafilokokus yang non patogen dan tidak invasif seperti Staphylococcus epidermidis, cenderung bersifat koagulase negatif dan tidak hemolitik. Organisme ini jarang menyebabkan pus tetapi dapat menginfeksi prostesis ortopedik atau kardiovaskuler.
Prototipe lesi stafilokokus adalah furunkel atau abses setempat lainnya. Kelompok S. aureus  yang tinggal dalam folikel rambut menimbulkan nekrosis jaringan (faktor demonekrotik). Koagulase dihasilkan dan mengkoagulase fibrin di sekitar lesi dan di dalam pembuluh limfe, mengakibatkan pembentukan dinding yang membatasi proses dan diperkuat oleh penumpukan sel radang dan kemudian jaringan fibrosis. Di tengah-tengah lesi, terjadi pencairan jaringan nekrotik (dibantu oleh hipersensitivitas tipe lambat) dan abses “mengarah” pada daerah yang daya tahannya paling kecil. Setelah cairan di tengah jaringan nekrotik mengalir keluar, rongga secara pelan-pelan diisi dengan jaringan granulasi dan akhirnya sembuh.
Penanahan foka (abses) adalah sifat khas infeksi stafilokokus. Dari setiap fokus, organisme menyebar melalui saluran limfe dan aliran darah ke bagian tubuh lainnya. Penanahan dalam vena, yang disertai trombosis, sering terjadi pada penyebaran tersebut. Pada osteomyelitis, fokus primer pertumbuhan S. aureus  secara khas terjadi di pembuluh-pembuluh darah terminal pada metafisis tulang panjang, mengakibatkan nekrosis tulang dan pernanahan menahun. S. aureus dapat menyebabkan pneumonia, meningitis, empiema, endokarditis atau sepsis dengan pernanahan pada bagian tubuh mana saja. Stafilokokus yang daya invasinya rendah berperan pada banyak infeksi kulit (misalnya acne, epiderma, atau impitigo). Kokus anaerob (peptostreptococcus) berperan dalam infeksi anaerobik campuran.  Stafilokokusjuga menyebabkan penyakit melalui kerja toksin, tanpa memperlihatkan infeksi invasif. Bula eksoliatif-sindroma lepuh kulit-disebabkan oleh pembentukan toksin eksoliatif. Sindroma syok toksin berhubungan dengan toksin sindroma syok toksik-I (TSST-I).

G.   Gejala Klinis
Staphylococcus aureus terutama CA-MRSA (Community associated-Methicillin-resistant Staphylococcus aureus) biasanya menyebabkan infeksi kulit dan jaringan lunak (jerawat, bisul, dan bengkak). Gejalanya tampak sebagai kemerahan, panas, bengkak, nyeri bila ditekan, dan bernanah. Kadang-kadang cukup serius dengan timbulnya luka infeksi yang bernanah, radang paru yang memerlukan perawatan di rumah sakit dengan terapi antibiotik khusus.

H.   Diagnosis
a.    Bahan pemeriksaan
Bahan untuk pemeriksaan dapat diperoleh dengan cara swabbing, atau langsung dari darah, pus sputum, atau liquor serebrospinalis.
b.    Pemeriksaan Langsung
Biasanya kuman dapat terlihat jelas, terutama jika bahan pemeriksaan berasal dari pus sputum. Dari sediaan langsung kita tidak dapat membedakan apakah yang kita lihat tersebut Staphylococcus aureus atau Staphylococcus epidermidis. Pada sediaan langsung dari nanah, kuman terlihat tersusun tersendiri, berpasangan, bergerombol dan bahkan dapat tersusun seperti rantai pendek.
c.    Perbenihan
Bahan yang ditanam pada lempeng agar darah akan menghasilkan koloni yang khas setelah pengeraman selama 18 jam pada suhu 37°C, tetapi hemolisis dan pembentukan pigmen baru terlihat setelah beberapa hari dibiarkan pada suhu kamar. Jika bahan pemeriksaan mengandung bermacam-macam kuman, dapat dipakai suatu perbenihan yang mengandung NaCl 10%. Pada umumnya Stafilokokus yang berasal dari manusia idak patogen terhadap hewan. Pada suatu perbenihan yang mengandung telurit, Stafilokokus koagulasi positif membentuk koloni yang berwarna hitam karena dapat mereduksi telurit.
·         Tes Koagulasi :
Ada 2 cara tes koagulasi yaitu cara slide test dan cara tube test. Pada slide test yang dicari ialah bound coagulase atau clumping factor. Cara ini tidak dianjurkan untuk pemeriksaan rutin, karena banyak faktor yang dapat mempengaruhinya, antara lain diperlukan plasma manusia yang masih segar. Pemakaiannya terutama untuk pemeriksaan Stafilokokus dalam jumlah yang besar, misalnya untuk screening test. Pada tube test yang dicari ialah adanya koagulasi bebas dan cukup dipergunakan plasma kelinci. Hasilnya positif kuat jika tabung tes dibalik, gumpalan plasma tidak terlepas dan tetap melekat pada dinding tabung.
·         Penentuan Tipe Bakteriofaga (lisotopi) :
Cara ini penting untuk menentukan tipe Stafilokokus yang diasingkan dari lingkungan rumah sakit. Perlu diketahui bahwa 70-80% flora Stafilokokus di rumah sakit tahan terhadap penisilin. Selain itu, dengan lisotopi dapat pula ditentukan apakah suatu jenis berasal dari hewan atau dari manusia (Arif et al, 2000).
·         Tes Kepekaan :
Tes pengenceran mikro kaldu atau tes kepekaan lempeng difusi sebaliknya dilakukam secara rutin pada isolat stafilokokus dari infeksi yang berwakna secara klinik. Resistensi terhadap penisilin G dapat diperkirakan melalui tes positif untuk b-laktamase; kurang lebih 90% S. aureus menghasilkan b-laktamase. Resistensi terhadap nafsilin (dan oksasilin san metisilin) terjadi pada 10-20% S. aureus dan kurang lebih 75% isolat S. epidermidis. Resistensi nafsilin berkorelasi dengan adanya mecA, suatu gen yang menyandi protein terikat penisilin yang tidak dipengaruhi obat ini. Gen dapat dideteksi dengan menggunakan reaksi rantai polimerase, tetapi hal ini tidak berguna karena stafilokokus yang tumbuh pada agar Mueller-Hinton mengandung 4% NaCl dan 6mg/mL oksasilin yang secara khas merupakan mecA positif dan resisten oksasilin.

I.    Pengobatan dan Pencegahan
Sebagian besar orang memiliki stafilokokus pada kulit dan hidung atau tenggorokan. Biarpun kulit dapat dibersihkan dari stafilokokus (misalnya pada eksema), dengan cepat akan terjadi reinfeksi melalui droplet. Organisme patogen sering menyebar dari satu lesi (seperti furunkel) dan menyebar ke daerah kulit lainnya melalui jari dan pakaian. Oleh karena itu, antisepsis lokal yang cermat sangat penting untuk mengendalikan furunkulosis yang berulang.
Infeksi ganda yang berat pada kulit (jerawat, furunkulosis) paling sering terjadi pada para remaja. Infeksi kulit yang serupa terjadi pada penderita yang memperoleh kortikosteroid dalam jangka waktu yang lama, menunjukkan peranan hormon dalam patogenesis infeksi kulit oleh stafilokokus. Pada jerawat, enzim lipase dari stafilokokus dan korinobakteria melepaskan asam-asam lemak dan menyebabkan iritasi jaringan. Tetrasiklin dipergunakan untuk pengobatan jangka panjang.
Abses dan lesi bernanah diobati dengan drainase, yaitu tindakan yang sangat penting, dan antimikroba. Banyak obat antimikroba memiliki efek terhadap stafilokokus in vitro. Namun, sangat sukar membasmi stafilokokus patogen pada orang- orang yang terinfeksi bakteri ini, karena organisme ini cepat menjadi resisten terhadap kebanyakan obat antimikroba, dan obat-obat itu tidak dapat bekerja pada bagian sentral lesi nekrotik yang bernanah.
Baktertemia, endokarditis, pneumonia, dan infeksi hebat lain yang disebabkan oleh S. aureus memerlukan terapi intravena yang lama dengan penisilin yang resisten terhadap b-laktamase. Vankosimin sering dicadangkan untuk stafilokokus yang resisten terhadap nafsilin. Jika infeksi disebabkan oleh S. aureus yang tidak menghasilkan b-laktamase, penisilin G merupakan obat pilihan, tetapi hanya sedikit S. aureus  yang peka terhadap penisilin G.
Pada infeksi klinis, strain S. aureus  yang resisten terhadap penisilin G selalu menghasilkan penisilinase. Sekarang bakteri ini merupakan 70-90% isolat S. aureus dalam masyarakat USA. Bakteri ini biasanya peka terhadap penisilin yang resisten terhadap b-laktamase, sefalosporoin, atau vankomisin. Resistensi terhadap nafsilin tidak bergantung pada pembentukan b-laktamase, dan isidensi klinisnya sangat bervariasi di berbagai negara dan pada waktu yang berbeda. Pengaruh seleksi obat antimikroba yang resisten terhadap b-laktamase mungkin bukan merupakan satu-satunya faktor yang menentukan timbulnya resistensi terhadap obat ini.
Karena sering timbul strain yang resisten terhadap obat, isolat stafilokokus yang penting sebaiknya diperiksa kepekaannya terhadap obat antimikroba untuk membantu pemilihan obat sistemik. Resistensi terhadap obat golongan eritromisin cenderung timbul demikian cepat sehingga obat ini sebaiknya tidak digunakan sebagai obat tunggal dalam infeksi menahun. Resistensi obat (terhadap penisilin, tetrasiklin, aminoglikosida, eritromisin, dan sebagainya) yang ditentukan oleh plasmid, dapat dipindah-pindahkan di antara Staphylococcus sp. dengan transduksi atau mungkin dengan konjugasi.
Di antara kokus gram positif, enterokokus yang terendah sensitifitasnya. Hampir semua infeksi oleh Staphylococcus sp. disebabkan oleh kuman penghasil penisilinase dan karena itu harus diobati dengan penisilin yang tahan penisilinase. Staphylococcus yang resisten terhadap metisilin (methicilin-resistant S. aureus = MRSA) harus diobati dengan vankomisin atau siprofloksasin. Gonokokus yang dahulu sensitif terhadap penisilin G, juga sudah banyak yang resisten , obat terpilih sekarang adalah seftriakson. Meningokokus cukup sensitif terhadap penisilin G.
Hal-hal yang dapat kita lakukan agar tidak terinfeksi bakteri ini antara lain.
  1. Memelihara kesehatan diri dengan baik dan benar
  2. Mencuci tangan dengan benar menggunakan sabun cair dan air atau membalur tangan dengan alkohol.
  3. Memakai sarung tangan setiap memegang barang yang sangat kotor, misalnya ludah, nanah alat rumah tangga yag kotor, kotoran binatang kesayangan, dan selanjutnya mencuci tangan dengan benar/bersih. Ini sangat penting bagi orang yang sistem imunitasnya menurun.
  4. Hindari pemakaian bersama barang pribadi seperti handuk, pakaian/pakaian seragam yang belum dicuci, pisau cukur.
  5. Hindari sentuhan langsung sentuhan dengan luka atau segala barang yang kotor oleh rembesan luka
  6. Segera bersihkan kulit yang luka/lecet, luka irirsan dan kemudian menutup dengan perban lekat yang tahan air. Cucilah tangan sebelum dan sesudah menyentuh luka tersebut. Bila gejala infeksi timbul, segera minta nasehat pada dokter.
  7. Bila kita mempunyai luka terbuka, hindari olahraga dengan kontak langsung, dan hindari mandi di tempat umum.
  8. Jagalah kebersihan lingkungan dan selalu mensterilkan perlengkapan yang telah dipakai di tempat umum seperti pusat olah raga dan kamar mandi umum.
  9. Jangan sembarangan memakai antibiotik. Pemakaian antibiotik harus sesuai dengan anjuran dan petunjuk dokter yang harus ditaati sesuai dengan dosis yang ditentukan secara teratur.
  10. Perhatikan kebersihan tangan dan gunakan masker (bagi yang memiliki gangguan pernapasan) jika menggunakan antibiotik.




ii.2. Vibrio cholerae

Kerajaan:
Filum:
Kelas:
Gamma Proteobacteria
Ordo:
Vibrionales
Famili:
Genus:
Spesies:
V. cholerae
Vibrio cholerae
Pacini 1854
Vibrio cholerae merupakan bakteri gram negatif, berbentuk basil (batang) dan bersifat motil (dapat bergerak), memiliki struktur antogenik dari antigen flagelar H dan antigen somatik O, gamma-proteobacteria, mesofilik dan kemoorganotrof, berhabitat alami di lingkungan akuatik dan umumnya berasosiasi dengan eukariot. Spesies Vibrio kerap dikaitkan dengan sifat patogenisitasnya pada manusia, terutama V. cholerae penyebab penyakit kolera di negara berkembang yang memiliki keterbatasan akan air bersih dan memiliki sanitasi yang buruk. V.cholerae ditemukan pertama kali oleh ahli anatomi dari Italia bernama Filippo Pacini pada tahun 1854. [3]. Namun, penemuan awal ini baru dikenal luas setelah Robert Koch, yang mempelajari penyakit kolera di Mesir, pada tahun 1883 berhasil membuktikan bahwa bakteri tersebut adalah penyebab kolera.
a. Ciri-Ciri:
·         Bakteri gram negatif
·         Batang lurus dan agak lengkung
·         Terdapat tunggal dan dalam rantai berpilin
·         Tidak berkapsul
·         Tidak membentuk spora
·         Bergerak flagella tunggal polar
·         Aerobik, anaerobik fakultatif
·         Patogenik, menyebabkan kolera

      Vibrio cholera terdapat dalam dua biotipe atau galur: biotipe klasik dan biotipe El Tor. Dinamakan El Tor karena organism tersebut diisolasi di pos karantina El Tor di Teluk Suez pada thun 1905.

Uji
Klasik
El Tor


Uji Voges-Proskauer untuk



asetilmetilkarbinol
-
+

Produksi Indol
+
+

Pencairan gelatin
+
+

Produksi H2S
-
-

Fermentasi glukosa
+
+

Fermentasi laktosa
Lambat
Lambat

Hemolisis butir darah merah



domba atau kambing
-
+

Hemaglutinasi butir darah merah ayam
-
+

Tabel 3. Reaksi biokimiawi biotipe Vibrio cholerae

                                                            
Gambar 11. Vibrio cholerae

b. Habitat bakteri
Bakteri yang dapat hidup pada salinitas yang relatif tinggi seperti di air laut dan perairan payau. Tumbuh dan berkembang biak di dalam usus manusia.
c. Infeksi dan vilurensi
            Menyebabakan penyakit kolera (cholera) yang penyakit infeksi saluran usus bersifat akut yang disebabkan oleh bakteri Vibrio cholerae, bakteri ini masuk kedalam tubuh seseorang melalui makanan atau minuman yang terkontaminasi. Bakteri tersebut mengeluarkan enterotoksin (racunnya) pada saluran usus sehingga terjadilah diare (diarrhoea) disertai muntah yang akut dan hebat, akibatnya seseorang dalam waktu hanya beberapa hari kehilangan banyak cairan tubuh dan masuk pada kondisi dehidrasi.
      Apabila dehidrasi tidak segera ditangani, maka akan berlanjut kearah hipovolemik dan asidosis metabolik dalam waktu yang relatif singkat dan dapat menyebabkan kematian bila penanganan tidak adekuat. Pemberian air minum biasa tidak akan banyak membantu, Penderita (pasien) kolera membutuhkan infus cairan gula (Dextrose) dan garam (Normal saline) atau bentuk cairan infus yang di mix keduanya (Dextrose Saline).
d. Patogenesis
            Pada penderita penyakit kolera ada beberapa hal tanda dan gejala yang ditampakkan, antaralainialah :
§  Diare yang encer dan berlimpah tanpa didahului oleh rasa mulas atau      tenesmus.
§  Feaces atau kotoran (tinja) yang semula berwarna dan berbau berubah menjadi cairan putih keruh (seperti air cucian beras) tanpa bau busuk ataupun amis, tetapi seperti manis yang menusuk.
§  Feaces (cairan) yang menyerupai air cucian beras ini bila diendapkan akan mengeluarkan gumpalan-gumpalan putih.
§  Diare terjadi berkali-kali dan dalam jumlah yang cukup banyak.
§  Terjadinya muntah setelah didahului dengan diare yang terjadi, penderita tidaklah merasakan mual sebelumnya.
§  Kejang otot perut bisa juga dirasakan dengan disertai nyeri yang hebat.
§  Banyaknya cairan yang keluar akan menyebabkan terjadinya dehidrasi dengan tanda-     tandanya seperti;detak jantung cepat, mulut kering, lemah fisik,mata cekung, hypotensi dan lain-lain yang bila tidak segera mendapatkan penangan pengganti    cairan tubuh yang hilang dapat mengakibatkan kematian.

e.         Penularan
            Kolera dapat menyebar sebagai penyakit yang endemik, epidemik, atau pandemik. Bakteri vibrio cholerae berkembang biak dan menybar melalui feces (kotoran) manusia, bila kotoran yang mengandung bakteri ini mengkontaminasi air sungai dan sebagainya maka orang lain yang terjadi kontak dengan air tersebut beresiko terkena penyakit kolera itu juga

f.Isolasi
Untuk melakukan isolasi dan pemeliharaan vibrio, dapat menggunakan media Thiosulfate-citrate-bile salts agar (TCBS) yang merupakan media selektif untuk isolasi dan pemurnian Vibrio. Vibrio mampu menggunakan sukrosa sebagai sumber karbon akan berwarna kuning, sedangkan yang lainnya berwarna hijau. Akan tetapi terdapat beberapa mikrob yang juga dapat tumbuh pada media ini, seperti Staphylococcus, Flavobacterium, Pseudoalteromonas, and Shewanella  Sedangkan untuk perbanyakan Vibrio, dapat digunakan media Alkaline Peptone Water (APW) yang memiliki pH relatif tinggi, yaitu berkisar 8.4 dan mengandung NaCl sebesar 1-2%.Adapun pertumbuhan optimum vibrio adalah pada suhu berkisar antara 20- 35oC.

g.Uji Biokimia
Teknik yang digunakan dalam identifikasi fenotipe V. cholerae adalah uji lisin dekarboksilase dan ornitin (arginin) dekarboksilase, oksidase, Kliger Iron Agar (KIA), dan uji indol. cholerae akan menunjukkan hasil positif pada keempat uji biokimia tersebut. Hasil positif untuk uji oksidase dan uji lisin dan arginin dekarboksilase adalah terbentuknya warna ungu tua. Pada uji KIA, tidak terbentuk gas, dengan slant (bagian permukaan media) berwarna merah (bersifat basa) dan butt (bagian dasar media) berwarna kuning (bersifat asam). Untuk uji indol, akan terbentuk warna merah keunguan pada permukaan.

Salah satu hasil pewarnaan gram Vibrio (Vibrio cholerae)


Vibrio adalah salah satu jenis bakteri yang tergolong dalam kelompok marine bacteria. Bakteri ini umumnya memiliki habitat alami di laut.
h.Karakteristik
Secara umum, bakteri vibrio bersifat aerob, tetapi ada pula yang bersifat anaerob fakultatif. Selain itu, vibrio juga bersifat motil karena pergerakannya dikendalikan oleh flagela polar, tergolong bakteri gram negatif dan berbentuk batang yang melengkung (seperti tanda koma).
i.Metabolisme
Hasil uji biokimia dari bakteri Vibrio antara lain adalah hasil positif pada uji oksidase dan katalase. Pada uji indol Vibrio menunjukan hasil positif dan bersifat motil. Selain itu, pada uji fermentasi sukrosa dan manitol bakteri Vibrio juga memberi hasil positif yaitu dapat melakukan fermentasi sukrosa dan manitol, namun pada uji laktosa didapat hasil negatif yaitu tidak dapat memfermentasikan laktosa. Sementara itu, bila diujikan pada media Triple Sugar Iron Agar(TSIA), hasil yang muncul adalah bagian atas (slant) menunjukan warna merah yang berarti bersifat basa, dan bagian bawah (butt) berwarna kuning yang berarti bersifat asam, dan tidak terbentuk H2S. Uji lisin dekarboksilasi terhadap Vibrio juga menunjukkan hasil positif berupa warna ungu, uji NaCl 0% memberi hasil positif berupa kekeruhan yang tinggi, NaCl 6% dengan hasil bervariasi, dan NaCl 8 % dengan hasil negatif (kekeruhan rendah). Pada uji arginin dihidrolase dan esculin hidrolisis Vibrio akan memberikan hasil negatif, sedangkan pada uji ornitin dekarboksilase Vibrio akan memberi hasil positif.
j.Jenis-jenis
Beberapa jenis spesies vibrio yang ditemukan pada lingkungan perairan yaitu Vibrio alginolyticus, V. damsela, V. charchariae, V.anguilarum, V. ordalli, V. cholerae, V. salmonicida, V. vulnificus, V. parahaemolyticus, V. pelagia, V. splendida, V. fischeri dan V. harveyi. Beberapa dari jenis vibrio tersebut umumnya dapat menginfeksi hewan-hewan laut seperti kerang dan ikan sehingga menyebabkan penyakit yang disebut vibriosis.



BAB III
PENUTUP
III. 1. Kesimpulan
Staphylococcus aureus,vibrio cholera merupakan jenis bakteri yang patogen pada mata dan kulit. Dengan adanya makalah ini, penyusun mengharapkan agar pembaca dapat memahami tentang bakteri yang menjadi patogen pada mata dan kulit serta dapat juga mengetahui cara pencegahan dan mengobatan jika terjadi infeksi.


   
DAFTAR PUSTAKA

Jawetz. 1996. Mikrobiologi Kedokteran. EGC: Jakarta.
Pelczar, M. 1988. Dasar-Dasar Mikrobiologi. UI Press: Jakarta.
Staf pengajar FK UI. 1994. Mikrobiologi Kedokteran ed. revisi. Penerbit Binarupa Aksara: Jakarta.















0 komentar:

Posting Komentar